Konmari, Kembalinya Cinta pada Kamar Ini
Kalau boleh bergaya, saya mau sedikit berbangga karena jauh sebelum saya kenal apa itu Netflix dan kemudian mencari kupon Netflix murah di Shopee (hehe tidak ada duit buat langganan versi originalnya maaf..) dan menonton seri Marie Kondo di Netflix atau bahkan sebelum buku Konmari itu terbit, saya sudah mengimplementasi prinsip Konmari dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau otak ini tidak salah mengingat, perasaan risih dan sumpek dengan begitu banyaknya barang-barang di dalam kamar dan bahkan di dalam rumah saya sendiri itu mulai terbit ketika usia menginjak batas legal pembuatan KTP di Indonesia, 17 tahun. Mungkin karena jenuh dengan kegiatan sekolah ditambah urusan asmara yang tak pernah mulus kemudian pulang disambut oleh kamar yang berantakan membuat saya lama-lama merasa tertekan.
Kegiatan sekolah tidak bisa saya ubah, asmara pun rasanya susah untuk berbenah kecuali ganti baru tapi saya khawatir tidak laku, maka satu-satunya opsi yang saya punya adalah merapikan kamar saya, tempat pulang saat lelah datang.
Seperti yang Mbak Elsi Santi ungkapkan di dalam sesi materinya, proses berbenah yang saya lakukan berlangsung berulang-ulang. Ketika itu saya belum mengerti prinsip menentukan nilai barang berdasarkan empat hal yang Mbak Elsi bilang, yaitu dinilai dari fungsionalnya, informasi yang dibawa, nilai sentimental yang dipunya dan seberapa langkanya dia. Walau belum ngeh soal nilai-nilai itu, saya masih bisa menyortir barang dengan patokan prinsip yang Konmari miliki.
Perlahan saya menyedekahkan baju-baju lama, membuang kertas-kertas ujian dan pengumuman sekolah yang bertumpuk kemudian mengelompokkan barang-barang yang saya miliki sesuai kategori yang sudah saya tentukan. Tidak lupa menyapu, mengepel lantai dan membersihkan sawang sarang laba-laba yang di langit-langit hati -maaf kamar saya.
Berkurangnya jumlah barang-barang yang ada dan posisi barang yang mudah dicari karena sudah disusun sedemikian rupa membuat kamar terasa lega, terkesan minimalis seperti yang saya inginkan dan tentu akhirnya bisa benar-benar menjadi tempat saya pulang, beristirahat dari keramaian dunia yang menjemukan. Saya jatuh cinta kembali dengan kamar saya.